Tentang Talfiq – Konsep Bermadzhab

Definisi talfiq adalah mencampur adukkan satu pendapat dengan pendapat lainnya, sehingga menjadi rangkaian hukum yang tidak dianggap sah oleh kedua imam yang diikuti. Sebagaimana ketika muqollid berwudlu tanpa menggosok anggota wudlunya dengan mengikuti madzhab syafi’i, lalu ia memegang wanita yang bukan mahrom dengan dalih mengikuti madzhab maliki yang tidak membatalkan wudlunya.

dibawah ini akan diuraikan perbedaan pendapat (khilaf) ulama tentang talfiq:

  1. Mayoritas ulama’ madzahib bahkan menurut klaim ibnu hajar, merupakan ijma’ ulama, tidak boleh secara mutlaq dengan argumen menganggap meremehkan hukum dalam menjalankan tuntunan syariat, masing-masing kedua pendapat yang diikuti tidak menganggap sah aktivitas yang dilakukan
  2. Al ‘Adawi dari kalangan Malikiyyah, diperbolehkan dalam persoalan ubudiyyah meskipun tidak dalam kondisi dlorurot. Persoalan ibadah merupakan hak Alloh, sehingga dalam pelaksanaannya lebih dominan sisi toleransinya (musamahah)
  3. Malikiyyah, Segolongan Ulama Hanafiyyah dan sebagian kalangan Hanabilah, diperbolehkan jika ada hajat, dlorurot, ‘udzur, atau al ‘ajzu (tidak mampu). Larangan talfiq dinilai terlalu memberatkan bagi orang awam, dengan memakai konsep kaidah ushuliyyah 

 (orang awam tidak terikat dengan madzhab tertentu)

العاَمِيُّ لاَ مَذْهَبَ لَهُ

Terkait dengan talfiq dan prinsip bertaqlid, al Syaikh Muhammad Said bin Abd al Rahman al Bani, dalam ‘Umdah al Tahqiq fi al Taqlid wa al Talfiq membagi persoalan syariat menjadi 3 macam:

  1. ‘Ubudiyah (ritual ibadah). Ibadah Murni tanpa terkait dengan hubungan sosial, seperti sholat dan puasa, tidak seharusnya seorang mukallaf memberatkan dirinya dalam persoalan ini. karena tujuan dari jenis tuntunan syariat yang satu ini adalah murni untuk menjalankan perintah Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, yang pelaksanaannya penuh dengan musamahah (toleransi). Dengan demikian, boleh dalam urusan ini untuk memakai pendapat-pendapat lemah ataupun sampai berdampak talfiq. Ibadah yang terkait dengan interaksi sosial, seperti zakat dan lain-lain. Karena jenis ibadah ini tidak murni hak Allah, maka pelaksanaannya lebih mengedepankan sisi kehati-hatian. Tidak diperbolehkan membuat skenario talfiq ataupun cara lainya yang lebih praktis.
  2. Al Mahzhurat (larangan-larangan syariat), seperti mencuri, menggunjing, zina dan lain sebagainya. harus lebih berhati-hati dalam menjalankan tuntunan syariat jenis ini, karena Allah adalah Maha Bijaksana. Tidaklah melarang sesuatu kecuali karena akan berdampak negatif. Dengan demikian, jika, tidak ada dlorurot seorang mukallaf sebisa mungkin meninggalkan talfiq, memakai qoul yang berat, dan harus penuh dengan kehati-hatian.
  3. Segala jenis tuntutan syariat yang lebih menitikberatkan sisi kemaslahatan umum, seperti muamalah, munakahah, hukuman-hukuman syariat (al hudud) dan lain sebagainya. Mengenai prinsip-prinsip taqlid dalam persoalan agama jenis ini  sebenarnya disesuaikan tujuan dari pensyariatan hukum-hukum tersebut. Dominasi sisi al tasydid (berat) dan al takfif (ringan) nya disesuaikan dengan kemaslahatan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum-hukum tersebut. Seperti contoh: Urusan muamalah yang lebih cenderung sisi toleransinya, Urusan munakahah lebih cenderung sisi ihtiyathnya (kehati-hatiannya). sehingga dalam hal ini tidak boleh talfiq ataupun memakai pendapat-pendapat lemah

Berikut kesimpulan ulama madzahib terkait dengan hukum memakai qoul dlo’if (pendapat lemah):

  1. Hanafiyyah: Tidak diperbolehkan jika tidak dalam kondisi dlorurot, baik untuk dipakai sendiri atau difatwakan. Diperbolehkan jika dalam kondisi dlorurot, baik untuk dipakai sendiri ataupun difatwakan (al Fiqh al Islami, juz 1 hal 74 dar al fikr)
  2. Malikiyyah: Bagi seorang mufti yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tidak diperbolehkan berfatwa dengan qoul dlo’if, melainkan harus dengan qoul yang kuat. Bagi selain Mufti, diperbolehkan  memakai dan menyampaikan qoul-qoul ringan meskipun dlo’if.
  3. Syafi’iyyah: Untuk keperluan ifta’ (fatwa) dan qodlo’ (memutuskan hukum) harus memakai qoul kuat. Jika diluar konteks tersebut, maka diperbolehkan memakai qoul dlo’if baik dipakai sendiri atau disampaikan ke orang lain, dengan syarat: Bukan kategori Qoul al Qodim pada selain 18 permasalahan tertentu, Bukan kategori Qoul Muqobil al Shohih, Bukan kategori Qoul Muqobil al Masyhur (I’anah at Tholobin, Dar al Fikr juz 4, hal 252)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *